Jika kita bersekolah tentu kita
mempunyai rapot. Rapot akan menentukan naik tidaknya kelas seseorang dan
peringkat seseorang. Seseorang yang mendapat nilai tertinggi akan mendapat
juara kelas. Namun seseorang yang mendapat nilai terendah akan menjadi juru
kunci. Tapi, bagaimanakah dengan nilai akhlak kita? Nilai akhlak kita bukan
berdasarkan angka, namun huruf. Huruf yang dipakai pun hanya A – E.
Biasanya anak sekolah yang ada di Indonesia akan mendapatkan akhlak B. Mengapa demikian? Karena ketika guru ingin memberikan A maka dia akan berfikir 2 kali karena nilai tersebut terlalu tinggi. Dan ketika dia ingin memberikan C maka dia tidak akan tega karena nilai tersebut lebih rendah dari KKM dan mengakibatkan tidak naik kelas. Tentunya hal ini seperti menyepelekan tentang penilaian akhlak, karena banyak yang akhlaknya kurang tetapi naik kelas. Sehingga terdapat banyak ketidaksopanan kakak kelas terhadap adik kelas.
Biasanya di rapot terdapat pesan dari Wali kelas “tingkatkan prestasimu” atau “pertahankan prestasimu”. Prestasi di sini dapat diartikan nilai mata pelajaran, bukan nilai akhlak. Padahal Rasulullah bersabda, dari Ibrahim bin Hubaib, beliau berkata: Berkata ayahku kepadaku: "Wahai anakku, datangilah para fuqaha dan para ulama, dan belajarlah dari mereka serta ambillah adab, akhlak dan petunjuk mereka, karena sesungguhnya hal itu lebih aku sukai untukmu daripada memperbanyak hadits." (Ibid. 1/80). Maksud dari “hadits” di sini adalah ilmu, karena orang yang hafal hadits adalah orang yang berilmu. Dan saya pun tidak pernah melihat adanya rapot yang menyarankan untuk “tingkatkan akhlakmu”.
Saya bingung kenapa banyak orang
yang berbondong – bondong untuk memperbaiki nilai, sedangkan untuk memperbaiki
akhlak sendiri mereka males – malesan. Padahal di akhirat, mereka tidak akan
dibeda – bedakan kecuali akhlak mereka. Ketika di akhirat kita tidak akan
ditanya tentang prestasi apa saja yang anda peroleh selama hidup di dunia,
bukan? Tetapi kita akan ditanya tentang apa saja yang telah kita lakukan selama
di dunia.
Sebenarnya dalam indikator kenaikan
kelas harus ada penilaian akhlak dengan sungguh – sungguh, kalau bisa dengan
angka. Karena orang yang berilmu tetapi tidak berakhlak akan lebih berbahaya
dibanding orang yang tidak berilmu dan tidak berakhlak. Bayangkan saja, ketika
orang yang tidak berilmu mencuri, biasanya mereka akan membawa pisau,
berpakaian tertutup, pakai topeng. Sedangkan orang yang berilmu, dia dapat
mencuri dengan mudah, yaitu dengan menggunakan jas, berdasi, berkopeah yang
dalam hal ini adalah koruptor. Itulah mengapa di Indonesia banyak yang korupsi,
karena di Indonesia lebih mengutamakan nilai dibanding dengan akhlak.
Dan yang anehnya lagi, ketika kita mendapat nilai rendah maka orang tua akan menyuruh kita mempelajarinya dengan sungguh – sungguh lagi. Tetapi ketika kita mendapat nilai tinggi, orang tua hanya memuji. Seharusnya orang tua mendukung kita untuk memperdalam mata pelajaran yang kita bisa, bukan malah menyuruh bahkan membentak untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak kita bisa. Tentu saja orang tua ingin semua nilai tinggi, tetapi semua orang memiliki kemampuan tersendiri, dan tidak ada orang yang sempurna.
Dan yang anehnya lagi, ketika kita mendapat nilai rendah maka orang tua akan menyuruh kita mempelajarinya dengan sungguh – sungguh lagi. Tetapi ketika kita mendapat nilai tinggi, orang tua hanya memuji. Seharusnya orang tua mendukung kita untuk memperdalam mata pelajaran yang kita bisa, bukan malah menyuruh bahkan membentak untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak kita bisa. Tentu saja orang tua ingin semua nilai tinggi, tetapi semua orang memiliki kemampuan tersendiri, dan tidak ada orang yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar