Senin, 31 Juli 2017

Sudahkah Kita Islam




          Sudahkah kita Islam? Mungkin pertanyaan saya kali ini sedikit konyol, kenapa? Kan saya sudah syahadat, shalat, zakat, puasa, dll, jelaslah saya Islam. Ya, memang yang telah disebutkan tersebut adalah rukun Islam, rukun yang harus dijalankan dalam beragama Islam. Tapi... Apakah anda sudah yakin jika rukun-rukun tersebut sudah diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala? Sebelumnya lagi nih, apakah anda sudah yakin syahadat kita sudah diterima? Mas, kan syahadat itu yang penting ucapan dan hatinya, ya memang benar, tetapi selain hati dan ucapan, kita pun harus memiliki tanggung jawab terhadap apa yang kita ucapkan. Sebagai contoh, jika kita mempunyai dan memimpin suatu perusahaan, kita meyakini dengan sepenuh hati dan telah memberitakannya bahwa perusahaan kita akan sukses disebabkan peluang kesuksesannya tinggi, tetapi kita tidak mengetahui dan mempunyai langkah-langkah yang kongkret untuk mensukseskannya secara mendetail. Sehingga pada akhirnya perusahaan kita bangkrut. Inilah salah satu contoh kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita ucapkan dan kita yakini.
            Ketika zaman kenabian, Abu Jahal pun mengetahui segala konsukensi terhadap kalimat syahadat, sehingga sekalipun tidak mau mengucapkan kalimat syahadat. Apakah kalian tau, siapa Tuhan Abu Jahal dan pengikutnya? Latta, Uza? Salah, Tuhan mereka adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, tetapi mereka menjadikan Latta dan Uza sebagai sesembahan selain Allah. Oleh karena itu makna syahadat yang sebenarnya adalah, bukan tiada Tuhan selain Allah, melainkan tiada sesembahan selain Allah. Kedua kalimat ini jelas mengandung arti yang berbeda. Sesembahan berarti, Idol jika dalam bahasa Inggris, oleh karena itu sesembahan lebih berarti kepada “Sesuatu yang dapat memberi manfaat dan menolak mudharat”. Contohnya, ada penyanyi asing yang sangat terkenal, misal anda menjadikan penyanyi tersebut sebagai idola anda, secara tidak anda ketahui anda telah menjadikan sesembahan selain Allah, mengapa? Karena hati anda akan tertuju ke penyanyi tersebut, cita-cita dan tujuan hidup anda tidak jauh dari penyanyi tersebut, dan anda akan terkagum-kagum dan bangga dengan sebangga-bangganya jika dapat berbicara dengannya seakan-akan mendewakannya. Wah... terlalu banyak intronya, untuk selanjutnya mari kita simak artikel yang bersumber dari tulisan orang lain. Dan mungkin artikel ini sangat panjang, oleh karena itu siapkan sedikit kopi untuk menenangkan anda, selamat membaca!!! :)
            Dalam syahadat terdapat rukun dan syarat yang harus diketahui dan dikerjakan oleh seorang muslim karena tanpa mengerjakannya kita bukanlah pemeluk Islam. Dalam syahadat pun terdapat 2 kesaksian yaitu Laa Ilaaha Illa Allah dan Muhammad Rasulullah. Oleh karena itu kita akan membaginya mulai dari Rukun dan Syarat Laa Ilaaha Illa Allah dan diikuti Muhammad Rasulullah.

      A.    2 Rukun syahadat Laa Ilaaha Illa Allah adalah:
                  1.      Kufur kepada Thogut (An Nafyu)
An Nafyu yaitu, Meniadakan, Menolak, Menafikan, Menghilangkan, Menjauhi, Mengosongkan seluruh sembahan selain Allah, inilah makna Kufur kepada Thagut. Thagut adalah seluruh yang diibadahi, dipatuhi, ditunduki, diikuti, ditaati selain Allah dan apa-apa yang bertentang dengan apa yang diturunkan Allah. Thogut ada berupa benda mati seperti, batu, pohon, keris, laut, dan apa saja yang diyakini dapat memberi manfaat dan menolak bencana, diagungkan dan dikeramatkan lalu didatangkan dengan tujuan meminta berkah dan menolak bala. Thogut juga ada yang hidup dan dia ridha dipatuhi, diikuti, dan ditaati dalam urusan yang bertentangan dengan apa yang Allah tetapkan. Dapat berupa, pemimpin, ulama, dukun, kepala adat, dan siapa saja yang memerintahkan dan menetapkan perkara yang bertentangan dengan yang Allah turunkan.
Allah lebih dulu memerintahkan hambanya untuk menjauhi thagut sebelum beribadah kepada-Nya (iman billah). Sebab tidak mungkin seorang hamba itu bisa memurnikan ibadahnya kepada Allah tanpa lebih dulu mengosongkan sembahan-sembahan selain Allah. Ibaratnya gelas yang tercampur najis, harus dibersihkan dahulu najisnya lalu diisi dengan air bersih. Syeikh Abdurrahman ibn Hasan ibn Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama telah sepakat. Baik salaf maupun khalaf dari kalangan sahabat dan tabi’in, para imam dan semua ahlu sunnah bahwa belum dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya”. “Tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, telah jelas jalan hidayah dan jalan kesesetan. Maka barangsiapa yang kufur kepada thagut (An Nafyu) dan iman kepada Allah (Al Itsbat). Sungguh dia telah memgang tali yang amat kokoh (Laa ilaaha illa Allah) yang tidak akan putus...” (Q.S. Al-Baqarah: 256).
                  2.      Iman Kepada Allah (Al Itsbat)
Iman kepada Allah mengharuskan Al Itsbat. Al Itsbat yaitu menetapkan Allah satu-satunya yang diibadahi, dipatuhii, ditaati, ditunduki, dan diagungkan. Memurnikan ibadah hanya kepada-Nya saja.
            Inilah kedua rukun tauhid, manakala ada seseorang yang belum memenuhi salah satunya, maka Islam belum masuk dalam pangkuannya. Sebagaimana shalat dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya juga mempunyai rukun. Shalat yang tidak memenuhi rukun maka dianggap tidak sah atau batal shalatnya. Begitupun rukun Laa Ilaaha Illa Allah ini, bilamana ada orang yang belum memegang kedua rukunnya, maka dia bukan muslim. Karena inti dari ajaran dan sebab diutusnya seluruh Nabi dan Rasul adalah untuk mentauhidkan Allah.

      B.     7 Syarat Diterimanya Laa Ilaaha Illa Allah
                  1.      Ilmu
Syarat adalah sesuatu yang dengan ketiadaannya mengakibatkan ketiadaan suatu urusan. Maka jika sebagian syarat atau semuanya tidak ada maka disyaratkan pun menjadi tidak ada. Syarat Laa Ilaaha Illa Allah yang pertama adalah ilmu, maka ketika ilmu/pengetahuan tentang hal ini tidak ada, maka pengucapan Laa Ilaaha Illa Allah ini (suatu yang dipersyaratkan) menjadi tidak ada.
Kafir Quraisy dahulu sangat memahami kalimat tauhid ini, sebab mereka orang arab, mereka mengetahui seluk beluk bahasa arab. Mereka tidak berani mengucapkannya bukan karena tidak paham maknanya, justru karena paham terhadap kandungannya yang memiliki konsekuensi, yaitu, meninggalkan seluruh sembahan selain Allah. Itulah ketika Nabi menyeru mereka: “Katakanlah, Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah, niscaya kalian akan beruntung” (HR. Ahmad). Mereka pun berkata: “Apakah dia menjadikan Tuhan-Tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sungguh ini benar-benar suatu yang sangat mengherankan” (QS. Shad: 5). Jika anda mengetahui bahwa orang-orang kafir quraisy yang bodoh sekalipun memahami kalimat tauhid ini, maka sungguh sangat mengherankan bagi orang yang mengaku memeluk Islam tapi tidak menetahui penafsiran kalimat tauhid ini (Kitab Kasyfus Syubhat).
Ilmu adalah suatu pengetahuan yang dilandasi nash. Dalilnya firman Allah: “Maka ketahuilah, tidak ada Ilah yang haq diibadahi selain Allah...” (QS. Muhammad: 19). Yang menjadi syahid (kata kunci) dari ayat ini adalah, kalimat “ilam (ketahuilah/ilmuilah)”. Ini menunjukkan pemahaman/mengilmui lebih didahulukan daripada ucapan dan perbuatan. Dari Utsman Radiallahu ‘anju, Nabi bersabda: “Barangsiapa mati sedang dia mengetahui (meyakini) bahwasannya tidak ada Ilah yang haq diibadahi selain Allah, maka dia masuk surga” (HR. Muslim). Yang menjadi syahid (kata kunci) dari hadist ini adalah, kalimat: “sedang ia mengetahui”. Orang yang mati menugcapkan syahadat itu akan masuk surga dengan memenuhi syarat. Syaratnya adalah mengetahui/mengilmui kalimat syahadat yang diucapkannya itu. Maka jika syarat ini tidak ada, maka yang dipersyaratkannya pun tidak ada.
Perlu diketahui, bahwa diantara 7 syarat diterimanya Laa Ilaaha Illa Allah ini tidak sekedar dihafalkan, tapi harus diamalkan. Walaupun ketika diminta menyebutkan dengan nash-nashnya ia tidak bisa menyebutkan dan menghafal dengan baik, namun jika dia komitmen mengamalkannya maka dialah ahlu tauhid. Sebaliknya, ada orang yang ketika diminta menyebutkan syarat-syarat kalimat tauhid ini satu persatu dengan nash-nashnya, dia mampu menyebutkan dengan lancar, dengan hafalan yang baik, namun jika dia mengamalkan apa yang bersebrangan dengan kalimat tauhid ini, bahkan sampai menodainya, maka tetaplah dia tidak bisa disebut ahlu tauhid melainkan musyrik. Allahu’alam.
2 Yakin
Yakin kalimat tauhid yang tidak ada Syakn (keraguan) sama sekali, yang dibangun atas dasar kekuatan dan kesempurnaan ilmu, sebagai perwujudan dari kesempurnaan pengetahuan terhadap maknanya. Dengan demikian, keyakinan merupakan syarat, sehingga jika syarat tidak terpenuhi maka tidak ada pula yang menjadi objek syarat itu.
Syakn (keraguan) itu adalah ragu atau bimbang. Dalam ushul fiqih syakh artinya dua hal yang memiliki kemungkinan yang sama, sehingga tidak dapat dipastikan mana diantara keduanya yang lebih tepat untuk dipilih. Maka orang yang masih ada syakh (ragu) di hatinya akan kalimat tauhid, belum memenuhi syarat. Dalilnya firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan RasulNya, Kemudian Mereka Tidak Ragu-Ragu dan mereka yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah...” (QS. Al-Hujurat: 15). Yang menjadi syahid (kata kunci) dalam ayat ini, bahwa kebenaran iman kepada Allah dan RasulNya itu tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba berjumpa Allah dengan kedua kalimat syahadat, tanpa adanya keraguan sama sekali, melainkan dia pasti masuk surga” (Kitab As shahih). Yang menjadi syahid dalam hadits ini adalah sabda Rasulullah “tanpa adanya keraguan”. Nabi mensyaratkan ketidakraguan dalam kalimat syahadat tersebut agar dapat masuk surga. Karena keraguan bertentangan dengan keyakinan dan keraguan merupakan kekufuran. Ketika mendengar hadist-hadist yang menjamin surga bagi siapa yang menucapkan syahadat, banyak diantara muslim yang memahami hanya sekedar mengucap tanpa memerhatikan dan tidak mau tahu apa makna kandungan kalimat tersebut. Padahal kalimat syahadat ini memiliki syarat, rukun, dan pembatal. Memiliki makna, kandungan dengan segala konsekuensinya. Mereka pasrah hanya mengucapkan lalu berpangku tangan, dan berkeyakinan seakan hanya dengan mengucapkan saja itu sudah aman dan terjamin. Kami nasehatkan, pelajarilah Agamamu, Allahu’alam.
3. Ikhlas
Secara bahasa ihlas artinya pemurnian. Secara syar’i ihlas adalah memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah didasari rasa cinta. Membersihkan seluruh ibadah dari syirik. Yahudi juga beribadah kepada Allah didasari rasa cinta. Nasrani juga beribadah kepada Allah didasari rasa cinta. Kafir quraisy juga beribadah kepada Allah didasari rasa cinta. Kaum musyrikun dan quburiyun juga menyembah Allah didasari rasa cinta. Kaum demokrat, sekularis, pluralis, nasionalis, dan penganut paham-paham syirik lainnya juga menyembah Allah didasari rasa cinta. Perbedaannya, mereka menyembah Allah didasari cinta namun disamping menyembah Allah mereka juga mengambil Tuhan-Tuhan tandingan selain Allah. Yahudi dan Nasrani disamping menyembah Allah, mereka juga mengangkat Uzair dan Isa sebagai Tuhan tandingan. Kafir quraisy disamping menyembah Allah, mereka juga mengambil berhala replika orang-orang shalih sebagai Tuhan tandingan. Kaum quburiyun disamping menyembah Allah, mereka juga mengangkat penghuni kubur yang semasa hidupnya dikenal shalih sebagai Tuhan tandingan. Kaum demokrat dan kaum penganut paham-paham sesat lainnya disamping mereka menyembah Allah, mereka juga mengangkat Arbab mindunillah (Tuhan-Tuhan selain Allah), Tuhan-Tuhan palsu yang menyaingi Allah. Menyaingi Allah dalam Rububiyahnya dalam hal tasyri’/membuat syariat. aturan, undang-undang sebagai Tuhan tandingan. Padahal Allah tidak memerintahkan sekedar beribadah, tapi memurnikan ibadah hanya kepadanya dan mengosongkan diri dari seluruh sembahan, menjauhi syirik dan para pelaku syirik. Dalilnya firman Allah: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas, menaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS. Al-Bayyinah: 5). “Ingatlah, hanya miliki Allah agama yang murni (dari syirik)...” (QS. Az-Zumar: 3). Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: “Orang yang paling berbahagia dengan Syafaatku adalah orang yang mengucapkan: Laa Ilaaha Illa Allah, secara tulus dari lubuk hatinya atau jiwanya” (Kitab As Shahih). Syahid dari hadist ini adalah kalimat “secara tulus (ikhlas)”.
            Ikhlas adalah salah satu syarat sah syahadat, maka siapa saja yang tidak mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah, maka dia tidak akan mencapat syafaat dan dia tetaplah musyrik. Karena tidak akan pernah hamba itu benar-benar bebas dari kesyirikan sampai dia benar-benar mengikhlaskan/memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja. Dan tidak akan pernah bisa seorang hamba itu benar-benar memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah semata sampai dia menjauhi segala bentuk kesyirikan dan pelaku kemusyrikan itu.
4. As Shidq (Jujur)
            Jujur mengucapkan kalimat syahadat yang berkesesuaian antara ucapan, keyakinan, kenyataan. Lawan dari kata jujur adalah dusta. Orang yang tidak sesuai antara perkataan, keyakinan, dan perbuatan, ciri kaum munafik. Dalilnya firman Allah: “Dan diantara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang beriman”. (QS. Al-Baqarah: 8). 4 ayat sebelumnya menjelaskan sifat orang mukmin, dilanjutkan 2 ayat tentang sifat orang kafir. Kemudian ayat ini (lebih dari sepuluh ayat) membahas sifat kaum munafik karena keadaan mereka tidak seperti kaum kafir yang menampakkan kekufurannya, dan juga tidak sebagai mukmin sejati yang mudah dikenali sehingga perlu diwaspadai. Itulah kenapa porsi menceritakan kaum munafik lebih banyak. Allah secara panjang lebar membahas berbagai sifat mereka, bahkan ada satu surah dikhususkan bagi kaum munafik. Maka kenalilah sifat-sifat dan ciri-ciri kemunafikan, barangkali ada diantara sifat dan ciri itu pada kita, agar kita bersegera menjauhi sifat itu. Ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jujur merupakan salah satu syarat sah Laa Ilaaha Illa Allah, sedangkan lawannya adalah dusta. Dari Mu’adz radiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya dengan jujur dari dalam hatinya, melainkan Allah mengharamkannya dari Neraka”. Syahid dari hadist ini adalah kalimat “jujur dari dalam hatinya”, maka dari itu, Nabi mensyaratkan kejujuran dalam pengucapan dua kalimat syahadat.
5. Mahabbah (Cinta)
Lawan dari cinta adalah benci. Maka ketika ada seorang muslim yang membenci kalimat tauhid ini, atau membenci salah satu dari syariat Allah, baik berupa perintah dan larangan, kewajiban dan sunnah, halal dan haram, hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan seperti: Qhisas, jihad, rajam, memenggal leher kafir harbi, memerangi kafir harbi, ta’addud (poligami), memelihara jenggot dst... Maka dia belum memenuhi syarat Laa Ilaaha Illa Allah, meskipun dia mengamalkannya. Ketika ada seorang muslim yang mengamalkan kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah, misalnya: Shalat dhuha, shalat lail, berhijab, berjihad, poligami, dan memelihara jenggot, namun membencinya, semua itu dilakukan hanya karena tuntutan, maka muslim seperti ini belum memenuhi syarat sah syahadat, bahkan dia kafir. Silakan ruju’ pada pembahasan pembatal Islam ke 5 yaitu: Membenci sesuatu yang dibawa Rasulullah meskipun dia mengamalkannya. Cinta ini menuntut setiap muslim untuk mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai Allah. Mencintai RasulNya dan apa-apa yang dicintai Rasulullah dan mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan RasulNya. Dan menuntut setiap muslim membenci apa-apa yang dibenci Allah, membenci apa-apa yang dibenci RasulNya, dan membenci siapa saja yang membenci Allah dan RasulNya. Dalilnya firman Allah: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...” (QS. Al-Baqarah: 165). Allah menceritakan perihal orang-orang musyrik yang menyamakan kecintaannya kepada Allah dan juga kepada selain Allah. Mereka mengambil tandingan-tandingan selain Allah untuk diagungkan akibat kebodohan dan kurangnya pengetahuan mereka akan Allah. Sehingga mereka merealisasikan cintanya dengan cara yang menyimpang dari tauhid. Adapun bagi muslim, disebabkan kecintaannya pada Allah melalui kesempurnaan pengetahuan mereka akan Allah, itulah yang menjadikan mereka amat besar cintanya pada Allah, sehingga mereka merealisasikan cintanya dalam wujud yang benar.
6. Inqiyad (Patuh)
Tauhid menuntut kepatuhan dan ketundukan secara totalitas bagi yang mengucapkannya. Banyak orang yang mengaku mengetahui makan kalimat tauhid: Ikhlas, Jujur, dan Yakin, tetapi jika diperintah atau dilarang mengerjakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, dia tidak mau melaksanakannya. Orang semacam ini belum dikatakan tunduk. Karena tunduk, pasrah, dan patuh itu menuntuk amalan.
Tunduk lawan dari membangkang. Maka orang yang tidak mau merealisasikan tauhid dalam bentuk amalan dia adalah pembangkan. Abu Thalib juga mengetahui kebenaran risalah yang dibawa keponakannya, yakni Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Namun sekedar mengetahui tanpa mau tunduk, itu sama sekali tidak bermanfaat. Dalilnya firman Allah: “Dan kembalilah kepada Rabbmu dan berserah dirilah kepadaNya...” (QS. Az-Zumar: 54). Islam adalah berserah diri kepada Allah, patuh, tunduk, melakasanakan semua perintah yang wajib dan menjauhi semua larangan. Menerima semua keputusan, ketetapan hukum, syariat yang ditrunkan Allah. “Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkaran yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepernuhnya” (QS. An-Nisa: 65). Allah bersumpah atas diri Nya, sebelumnya disebut kata “falaa” (sekali-kali tidak), kemudian ditekankan lagi dengan kata “Laa yu’minuna” (mereka tidak beriman). Sampai kapan??? Sampai menjadikan apapun yang diputuskan oleh Rasulullah, apapun yang dibawa oleh Rasulullah, itulah yang benar yang harus diyakini kebenarannya dan harus tunduk dijalankan lahir maupun batin. Tidak sampai disitu, Allah mensyaratkan lagi dengan kata “haraj” (tidak keberatan). Tidak ada keberatan dalam hati, tidak ada yang mengganjal di hati atas apa yang dibawa Rasulullah dan apa yang diputuskan. Bahkan tidak sampai disitu, Allah menyebutkan “wa yusallimu taslima” (dan mereka menerima dengan sepenuhnya). Syahid ayat ini, jika mereka menjadikan dirimu (muhammad) sebagai hakim, maka tidak ada bantahan, penolakan sedikitpun, bahkan sekedar mengganjal di hati. Dan bukti dari itu semua, mereka pasti akan dengan senang dan sukarela menaati dan mematuhi. Dan ketaatan itu pembuktian amal, sebab orang yang tidak menjalankan dengan amalan dzahir itu adalah pembangkangan. Maka bagaimana lagi pembangkangan bagi mereka yang tidak mau tunduk pada hukum-hukum Allah? Dan bagaimana lagi bagi mereka yang justru bahkan mengubah hukum-hukum Allah???
7. Al Qobul (Menerima)
Menerima lawan dari menolak. Orang yang menolak satu saja nash, baik dari Al Qur’an maupun hadist yang shahih, dia itu belum tergolong orang yang memenuhi syarat sah Laa Ilaaha Illa Allah. Biasanya penolakan ini terjadi disebabkan karena tidak sesuai akal dan logikanya, atau tidak sesuai menurut adat, budaya, dan kebiasaannya di masyarakat dimana ia tinggal, dan sudah terbiasa dalam kondisi itu sejak lahir atau tidak sesuai dengan zaman menurut akalnya yang lemah. Dia menginginkan agama itu harus mengikuti zaman, padahal yang benar adalah zaman itu yang mengikuti Agama, atau karena taqlid (ikut-ikutan) kepada Syeikhnya, ustadnya, habibnya, dan kelompoknya, atau disebabkan karena kesombongan. “Sungguh dahulu apabila dikatakan kepada mereka: Laa Ilaaha Ilaa Allah, mereka menyombongkan diri, dan berkata: ‘Apakah kami harus meninggalkan sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?’” (QS. As-Shaffat: 35-36). Kalau kita mau memikirkan firman Allah di ayat ini, lalu kita hubungkan dengan realitas umat hari ini, maka kita mendapati ada kesamaan. Kita menyerukan untuk menjadikan Allah satu-satunya yang diibadahi, mereka malah menjadikan Tuhan-Tuhan itu banyak. Ada yang menyembah pemimpin, yaitu menaatinya dalam perkara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ada yang menyembah dewan terhormat, dalam hal tasyri’ (membuat syariat/uu, aturan) yang menyaingi Allah dalam Rububiyahnya. Ada yang menyembah alim ulama, dalam hal mengikuti fatwa-fatwanya yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.  Ada yang menyembah ideologi dan memiliki jalan selain Islam. Sebab ideologi adalah manhaj, jalan hidup, sunnah/kebiasaan, metodologi, pola fikir. Dan semua ideologi-ideologi dan isme-isme selain Islam adalah bathil, sesat lagi syirik. “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At-Taubah: 31). Menjadikan injil dan taurat saja sebagai manhaj hidup, Rasulullah katakan tersesat. Bahkan sekiranya Nabi Musa hidup sezaman dengan Rasulullah lalu Musa tidak mengikuti Rasulullah, Musa akan divonis sesat dan ditetapkan azab di akhirat. Maka bagaimana lagi yang selain Nabi Musa? Bagaimana bisa seseorang itu mengaku muslim sementara ia mengambil jalan selain Islam? Maka siapapun yang mengaku muslim namun tidak mau menerima dan tunduk pada apa-apa yang diturunkan Allah melalui RasulNya maka dia belum memenuhi syarat yang ke 7 ini.

    C.     2 rukun syahadat Muhammad Rasulullah adalah: Hamba dan utusannya. Kedua rukun ini menafikan/meniadakan:
                  1.      Ifrath (berlebih-lebihan)
Rasulullah juga seorang hamba, yang juga menyembah Allah. Diciptakan dari bahan yang sama. Beliau juga lapar, ngantuk, tidur, makan, minum, merasakan sakit, sedih, takut, harap, tertawa, menangis. Tidak mengetahui yang ghoib, baik masa lalu dan yang akan datang kecuali apa yang disampaikan Allah melalui Jibril dan berlaku apa yang berlaku bagi orang lain.
Kita menafikan sifat Ifrath (berlebih-lebihan) kepada beliau. Tidak memposisikannya sebagai Rabb sebagaimana kaum Nasrani yang menyembah Nabinya. Juga tidak seperti sufi ekstrim yang meyakini bumi dan segala isinya diciptakan dari cahaya Rasulullah, juga tidak menyanjungnya melebihi batasan Syar’i. “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu...” (Q.S. Al Kahfi: 110).
                  2.      Tafrith (meremehkan)
Selain menafikan Ifrath (berlebih-lebihan) kepada Rasulullah, kita juga wajib menafikan Tafrith (meremehkan) beliau dalam hak-haknya. Menerima apa yang dibawa Rasul dan meninggalkan apa yang dilarang. “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarang bagimu tinggalkanlah...” (Q.S. Al-Hasyr: 7).
Menaatinya sama dengan menaati Allah. “Barangsiapa menaati Rasul, sungguh dia telah menaati Allah” (Q.S. An-Nisa: 80).
Membelakangi risalah yang dibawanya dapat menghapus pahala. “Wahai orang-orang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu” (Q.S. Muhammad: 33).
Tidak mengangkat suara lebih tinggi dan lebih keras. “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu mengatakan kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedang kamu tidak menyadarinya” (Q.S. Al-Hujurat: 2). 
Meninggikan suara kepada Rasul saja dapat membatalkan pahala, bagaimana lagi jika membelakangi ajarannya, dan bagaimana lagi jika menghalang-halangi ajarannya, bahkan memerangi orang-orang yang hendak mengamalkan syariatnya? Mencintainya melebihi kecintaan kepada seluruh manusia meskipun kedua orang tua bahkan diri sendiri. Dan bukti kecintaan kita adalah dengan mengikutinya. Cinta dan ampunan Allah akan berpihak pada kita selama kita mengamalkan, menaati, mencintai, dan mengikuti syariat Rasulullah. “Katakanlah (Muhammad): jika kamu mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu...” (Q.S. Ali-Imran: 31). Adapun syarat Syahadat Muhammad Rasulullah sama dengan ke 7 syarat Laa Ilaaha Illa Allah.
Setelah mengetahui rukun dan syarat syahadat di atas, alangkah baiknya kita merenungkan diri dan bermuhasabah apakah kita sudah Islam. Insya Allah saya akan melanjutkan artikel-artikel yang akan mendatang dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=cG9le1pYoKo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar